Film Afterburn, karya terbaru sutradara J.J. Perry, merupakan adaptasi dari komik indie dari Houston karya Scott Chitwood. Mengisahkan dunia setelah mengalami bencana sengatan besar Matahari yang menghancurkan belahan timur Bumi. Bencana ini memicu kehancuran bak kiamat. Seorang pemburu harta karun, Jake yang diperankan oleh Dave Bautista, ditugaskan oleh Raja August yang diperankan oleh Samuel L. Jackson untuk menemukan kembali lukisan Mona Lisa. Karya seni ini yang diyakini selamat dan tersembunyi di Prancis. Objek ini juga dianggap memiliki nilai simbolis untuk harapan dan peradaban manusia yang tersisa.
Dalam beberapa waktu ini, sejumlah film fiksi yang tayang di jaringan bioskop tanah air, seringkali menggusung tema-tema paska apokaliptik atau juga Distopia. Tema Distopia memang sudah lama menjadi tema populer, namun kini kembali tren dengan sejumlah cirik has terkini.
Umumnya, film-film distopia sering mengangkat elemen budaya sebagai hal-hal menarik dari masa lalu seperti karya seni, objek sejarah, artefak budaya yang melambangkan jati diri manusia atau harapan. Dalam film Afterburn, juga menempatkan elemen ini dengan mengusung Mona Lisa sebagai simbol harapan, dan bukan hanya sekedar soal bertahan hidup.
Baca juga : Review Film Tharae: The Exorcist; Teror Di Negeri Gajah Putih
Kekhasan selanjutnya adalah film-film Distopia ini seringkali mengangkat cerita tentang eksplorasi kerusakan alam dan efek perubahan iklim atau bencana besar. Dalam Afterburn, ceritanya mengusung flare matahari sebagai pemicu kehancuran, menimbulkan wabah, perubahan iklim ekstrim, perang nuklir dan unsur-unsur eksternal yang menghancurkan tatanan sosial sebagai latar distopia. Penonton semakin terbawa fantasi kalau distopia-nya terasa “nyata”.
Pertarungan antara moralitas dengan kelangsungan manusia juga menjadi salah satu nilai yang kerap kali ditampilkan dalam film Distopia. Di belakang kehancuran dunia selalu ada pertanyaan tentang apa yang harus dipertahankan? Nilai apa yang masih pantas diselamatkan? Harapan, solidaritas, korban, pengkhianatan. Banyak film bertemakan Distopia tidak hanya menampilkan aksi, tetapi juga konflik batin dan pilihan sulit. Dalam film Afterburn, tema ini muncul dimana dunia mungkin butuh pahlawan yang lebih dari sekedar artefak.
Untuk menampilkan kehancuran, tumbukan alam atau efek bencana perlu CGI sebagai efek visual. Namun, ada perbedaan besar antara yang berhasil secara estetika dan teknis dan yang terlihat lemah atau “murahan”. Dalam Afterburn, baik CGI, efek asap termasuk ledakan, dan make-up luka dianggap kurang meyakinkan.
Sayangnya memang film-film Distopia sekarang ini sering bercampur dengan genre aksi, petualangan, kadang horror, juga bernada filosofis. Hal ini agar film bisa menarik khalayak luas dan bukan hanya kalangan pecinta sci-fi atau post-apokaliptik saja.
Film ini memberikan premis yang kuat ketika menggunakan objek seperti Mona Lisa sebagai artefak. Konsep ini tentu memberi dimensi lebih dari sekadar pertarungan atau aksi, karena ada unsur budaya dan simbol harapan. Secara khusus, pemilihan Dave Bautista sebagai pemeran utama bisa jadi merupakan hal yang paling menonjol. Bila banyak unsur lain yang mengecewakan, pemilihan Bautista adalah hal yang paling berhasil.
Selain itu, sisi lain yang menarik adalah pengambilan lokasi di Eropa termasuk Slovakia dan set pasca-apokaliptik dengan reruntuhan, radiasi, kondisi keras memberi visual yang cukup memikat meskipun tidak selalu sempurna.
Ada banyak adegan aksi yang berbahaya denggan latar belakang alam yang terkontaminasi atau kelompok antagonis yang membuat perjalanan karakter penuh risiko. Untuk yang suka film aksi + post-apocalyptic, ada saja elemen -elemen “popcorn movie” yang untungnya masih bisa dinikmati.
Afterburn, yang sejatinya merupakan adaptasi dari komik, namun sayangnya ada sejumlah poin yang membuat film ini perlu mendapat juga mendapat kritik keras. Pertama adalah scenario atau plot yang lemah dan tidak orisinal. eberapa penonton menyebut plotnya mudah ditebak, kalimat dan dialognya tidak konsisten, dengan latar belakang cerita yang tidak dijelaskan dengan baik. Beberapa elemen logika dunia pasca-apokaliptik dipertanyakan: bagaimana sumber daya, listrik, bahan bakar bekerja; kenapa pengaruh radiasi atau kerusakan alam tidak diikutkan secara lebih mendetail.
Secara teknis, produksi Afterburn ini memang kurang memuaskan. Efek CGI ledakan atau asap, make-up luka dan darah tampak tidak alami. Sinematografi atau estetika visual yang ditampilkan terlihat amatiran. Editing film ini juga menjadi salah satu kelemahan, dimana ristme film terasa terlalu lambat di bagian-bagian tertentu, sementara akhir film justru terasa terburu-buru atau kurang memuaskan. Pada sejumlah transisi adegan bahkan terasa kasar atau malah kehilangan momentum.
Pengembangan karakter terasa kurang dan dialog juga terasa dangkal. Bisa dikatakan bahwa selain Jake (Bautista), karakter lain dianggap kurang berkembang. Dialog kadang terlalu menjelaskan sehingga terasa dipaksakan. Bahkan pilihan-pilihan karakter terlihat tidak logis dari sudut pandang dunia film yang sudah ditetapkan.
Puncak kelemahan film ini adalah ketidakkonsistenan. Jika dunia sudah sangat rusak, kenapa elemen-elemen modern seperti generator, bahan bakar, senjata masih bisa diakses begitu mudah dalam film ini ?. Kenapa radiasi besar matahari tidak lebih ekstrem atau dikembangkan sisi dampak sosialnya lebih dalam?.
Tetap saja Afterburn menjadi film yang berhasil membidik kesenangan aksi pasca-apokaliptik dengan premis yang cukup menarik secara konseptual yakni simbolisme, pencarian artefak, simbol harapan. Akting Dave Bautista dan Samuel L. Jackson layak mendapatkan apresiasi. Namun, film ini gagal secara konsisten dalam memanfaatkan potensi dunia yang dibangunnya, terutama dari sisi teknis, kedalaman cerita, dan kualitas produksi visual ala CGI.
Pada akhirnya, jika Anda menyukai film aksi yang ringan dengan setting distopia, dan tidak keberatan dengan plot yang biasa serta beberapa kekurangan produksi, Film Afterburn bisa jadi salah satu pilihan hiburan yang cukup memuaskan. Tapi jika Anda berharap film distopia yang menggugah secara emosional atau filosofis, mungkin akan merasa kecewa. Rating 5.5 / 10. (Lukman Hqeem)
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan