Beritakota.id, Jakarta – Sektor hulu minyak dan gas (migas) Indonesia kini menghadapi tekanan serius. Potensi geologi besar tidak diiringi dengan kemudahan berinvestasi. Berdasarkan riset Fraser Institute, Investment Attractiveness Index Indonesia pada 2023 hanya mencapai 45,17, menempatkan Indonesia di peringkat 56 dari 86 negara — jauh di bawah posisi ke-27 pada 2019.
Dr. A. Rinto Pudyantoro dari Universitas Pertamina menyebut penurunan ini disebabkan oleh “tumpang tindih regulasi, ketidakpastian fiskal, dan birokrasi perizinan yang berbelit.” Hal ini disampaikan dalam acara silaturahmi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) bersama Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) bersama para jurnalis pada hari Rabu (15/10/2025). Menurutnya, skema gross split yang diharapkan efisien justru dianggap kurang menarik dibanding sistem fiskal di Malaysia, yang lebih stabil dan terintegrasi di bawah Petronas.
“Tanpa reformasi regulasi dan insentif fiskal yang konsisten, sulit bagi Indonesia untuk kembali kompetitif di kawasan,” – Rinto.
Indonesia kini memasuki fase penurunan produksi alamiah (declining phase). Sekitar 90% lapangan migas sudah mature dengan laju penurunan 15–20% per tahun. Produksi minyak nasional pada 2024 turun 4% ke level 582.000 barel per hari (b/d).Target lifting 2025 sebesar 605.000 b/d diperkirakan sulit tercapai karena lambatnya realisasi proyek eksplorasi baru. Ketergantungan pada impor minyak mentah dan BBM kian meningkat, menekan neraca perdagangan serta beban subsidi energi.
Rinto menilai, “Tanpa penemuan cadangan baru dan efisiensi produksi, Indonesia berisiko menjadi importir energi permanen dalam dekade mendatang.”
Selain faktor teknis, sektor migas Indonesia menghadapi tiga hambatan besar yakni, Ketidakpastian Regulasi dan Fiskal berupa perubahan mendadak dalam kebijakan PSC (Production Sharing Contract) dan aturan perpajakan membuat investor kesulitan melakukan perencanaan jangka panjang. Kedua, Risiko Teknis dan Biaya Tinggi dimana banyak proyek berada di wilayah terpencil atau laut dalam, dengan biaya pengembangan tinggi dan infrastruktur terbatas. Ketiga, terjadinya tekanan Transisi Energi dan ESG dimana dorongan global menuju dekarbonisasi membuat investasi fosil dianggap berisiko tinggi. Akses pendanaan dari lembaga keuangan hijau semakin ketat.
Baca juga : Pengeboran Migas Di Perairan Sampang Siap Di Mulai
Rinto menegaskan perlunya pendekatan transisi energi yang realistis, “Gas harus ditempatkan sebagai bridge fuel menuju energi bersih, sementara kebijakan CCUS perlu segera difinalkan agar investasi tetap berlanjut.”
Menurutnya, ada sejumlah langkah pemerintah untuk memperbaiki iklim investasi sektor migas saat ini. Pertama adalah dengan menitik beratkan pengaktifan kembali lapangan-lapangan yang telah ada. Pemerintah memotong izin eksplorasi dari 320 menjadi 140 untuk mempercepat proses dan fokus pada lapangan produktif. Teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR) mulai diperluas. Bisa juga dengan memberikan insentif fiskal dan skema kontrak baru lewat perubahan skema pembagian hasil dan insentif pajak tengah dikaji agar lebih kompetitif. Panduan PwC 2024 menilai arah reformasi fiskal migas Indonesia mulai lebih ramah investor.
Selanjutnya pemerintah dapat juga melakukan pengembangan infrastruktur dan kilang baru. Sebagaimana diketahui bahwa sejumlah proyek kilang baru di Kalimantan dan Sulawesi saat ini berproduksi dengan total kapasitas 1 juta bph. Ini diharapkan menekan impor BBM. Selain itu juga menjalankan program biodiesel B40–B50 juga menjadi bagian strategi menekan impor bahan bakar fosil.
Secara khusus, pamerintah dapat melakukan pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN). Blok Cepu menunjukkan keberhasilan peningkatan produksi hingga 30.000 b/d, menyumbang seperempat dari total produksi nasional. Proyek gas besar seperti Masela, Natuna, dan Andaman diharapkan menjadi penggerak ekspor LNG sekaligus sumber pasokan domestik.
Selain kebijakan, peran media massa menjadi penentu dalam membentuk persepsi publik dan investor. Pemberitaan yang tidak akurat dapat menimbulkan kesalahpahaman, sementara informasi positif dan edukatif dapat meningkatkan literasi energi.
“Jurnalis perlu kritis, objektif, dan inspiratif. Bukan sekadar mengejar sensasi, tapi mendorong pemahaman publik terhadap peran strategis migas dalam transisi energi,” tutur Rinto.
Ia menilai, media berperan penting dalam menjaga transparansi, mengawasi kebijakan publik, dan memperkuat legitimasi pemerintah di mata investor global.
“ Dengan reformasi yang konsisten, produksi migas Indonesia berpotensi naik ke 640–650 ribu b/d pada 2025. Namun, tanpa perbaikan regulasi dan efisiensi proyek, sektor ini berisiko stagnan dan mengalami penurunan 7–15% per tahun. Hulu migas tetap menjadi tulang punggung transisi energi nasional. Reformasi fiskal, kepastian hukum, dan transparansi akan menentukan apakah Indonesia bisa mencapai swasembada energi 2045 dan net zero emission 2060.”” pungkas Rinto dengan pandangan optimistis. (Lukman Hqeem)
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan