Beritakota.id, Jakarta – Dalam The Cursed (2025), sutradara Hong Won-ki menampilkan dunia yang tampak biasa-biasa saja, namun di bawah permukaannya mengalir arus gelap: pasar arwah, ruang gaib tempat manusia bisa menukar apa pun yang diinginkan — kecantikan, status, keberuntungan — dengan harga yang tak terlihat namun sangat mahal: jiwa dan moralitasnya sendiri.
Film ini tidak bergantung pada sosok monster atau entitas supranatural seperti dalam horor klasik. Kengerian sejatinya datang dari manusia itu sendiri, dari hasrat yang tak pernah puas dan dari sistem sosial yang melegitimasi pertukaran antara nilai kemanusiaan dan keuntungan pribadi. Di dunia The Cursed, kutukan tidak turun dari langit — ia tumbuh dari keinginan yang terlalu duniawi.
Robin Wood, dalam esainya yang legendaris “An Introduction to the American Horror Film” (1979), menyatakan bahwa: “Horror film is the return of the repressed — the reemergence of what society seeks to deny or suppress.” Artinya, film horor selalu memunculkan kembali ketegangan moral, sosial, dan psikologis yang ditekan oleh peradaban modern.
Baca juga : Film Tulah 6/13 Membawa Kutukan Masa Lalu
Ketika masyarakat menolak mengakui sisi gelapnya — keserakahan, ambisi, keinginan untuk berkuasa — film horor menjadi wadah tempat semua itu muncul kembali dalam bentuk metaforis: monster, kutukan, atau kekerasan yang tak terkendali.
Dalam konteks The Cursed, yang “direpresi” bukanlah roh jahat, melainkan nafsu konsumtif dan kerakusan manusia modern. Pasar arwah (ghost market) dalam film menjadi metafora paling tajam tentang kapitalisme spiritual, di mana bahkan jiwa manusia bisa dijadikan komoditas.
Pasar arwah dalam The Cursed berfungsi seperti versi gelap dari marketplace modern; setiap orang datang dengan daftar keinginan — kecantikan, popularitas, kekuasaan — dan mereka bersedia menukar apa saja untuk mendapatkannya. Sama seperti masyarakat modern yang hidup di bawah sistem ekonomi kompetitif, pasar ini bekerja atas dasar transaksi dan ilusi kebebasan memilih. Namun harga yang dibayar bukan lagi uang, melainkan moralitas.
Dalam logika The Cursed, kapitalisme tidak hanya menguasai tubuh dan waktu, tapi juga jiwa. Inilah bentuk “repressed” yang dimaksud Robin Wood: keinginan manusia untuk menguasai segalanya akhirnya menjadi monster yang tak kasat mata, menggerogoti nurani, dan memunculkan kekerasan dalam bentuk yang simbolis — saling menipu, menjual nilai, dan menggadaikan empati.
Kekerasan dalam The Cursed sendiri tidak selalu hadir melalui darah atau adegan sadis. Ia muncul melalui mekanisme sosial dan moral: ambisi yang melukai, kecemburuan yang mematikan, serta kompetisi yang menjadikan manusia saling memangsa secara simbolik.
Film ini merefleksikan kekerasan struktural dalam kehidupan modern — di mana manusia rela mengorbankan orang lain demi citra dan kesuksesan pribadi.
Setiap transaksi di pasar arwah adalah bentuk mikro dari sistem sosial kita: siapa yang berani membayar lebih, dialah yang menang.
Dengan demikian, The Cursed bukan hanya horor supernatural, tetapi juga satir sosial yang memperlihatkan bagaimana kapitalisme dan moralitas bisa bersekongkol menciptakan neraka dalam kehidupan sehari-hari.
Film ini mengajak penontonnya untuk bercermin “apakah kita benar-benar bebas dari pasar arwah?”. Tidakkah setiap “like”, “follower”, atau “pengakuan digital” juga bentuk kecil dari transaksi jiwa — menukar autentisitas dengan penerimaan sosial?
Dengan pendekatan Robin Wood, film ini menjadi semacam ritus pengakuan massal: penonton dipaksa menghadapi sisi dirinya yang ambisius, narsistik, dan haus validasi. Ketakutan yang muncul bukan karena hantu, tapi karena kita melihat diri sendiri dalam layar.
The Cursed menakutkan karena ia terlalu dekat — terlalu manusiawi. Melalui The Cursed, Hong Won-ki tidak sedang membuat film horor untuk menakuti, tetapi untuk menyadarkan. Ia memanfaatkan kekerasan dan kutukan bukan sebagai sensasi, tapi sebagai refleksi sosial tentang masyarakat yang kehilangan batas etika di tengah obsesi material.
Robin Wood benar: horor adalah kembalinya yang direpresi. Dan dalam dunia kita hari ini, yang direpresi bukanlah setan atau roh jahat, melainkan nafsu manusia sendiri — yang lahir dari sistem ekonomi dan budaya yang terus menekan kita untuk lebih, lebih, dan lebih.
“The Cursed” adalah film yang mengingatkan bahwa mungkin monster terbesar dari semua adalah diri kita sendiri — ketika keinginan tak lagi punya batas, dan moral berubah menjadi mata uang. Rating 4/5. (Lukman Hqeem)
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan