Beritakota.id, Jakarta – LS, seorang ibu yang tengah memperjuangkan hak asuh anaknya, mengaku semakin bersemangat dan banyak berdoa upayanya untuk mendapatkan kepastian hukum dalam menunggu sidang putusan yang dipimpin majelis hakim yang dipimpin Yuli Sintesa dan hakim anggota Aloysius Bayuaji dan Sorta Ria Neva di Pengadilan Negeri Jakarta Utara kembali ditunda. Padahal, agenda sidang sebelumnya telah menetapkan bahwa putusan seharusnya dibacakan pada 30 April 2025. Namun hingga kini, sidang telah mengalami tiga kali penundaan—dari 7 Mei, dilanjutkan 14 Mei, dan terakhir dijadwalkan kembali pada 21 Mei.
“Ada apa sebenarnya? Mengapa putusan bisa tertunda sampai tiga kali?” ujar LS dengan nada penuh kesedihan saat ditemui awak media di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara, Jumat (16/5). Ia menyayangkan penundaan ini karena menambah beban emosional yang sudah berat. Anak kesayangannya, (anaknya), hingga kini masih berada dalam penyekapan mantan suami, dan nasib hak asuhnya pun belum jelas.
Perjuangan LS bermula saat ia berusaha mendapatkan kembali hak asuh atas anak kandungnya, yang menurutnya dirampas secara sepihak oleh mantan suaminya tanpa mempunyai hak asuh. Ia merasa sistem hukum belum menunjukkan keberpihakan HAK yang memadai terhadap ibu dan anak. Hal ini makin menyakitkan karena ia menyaksikan perubahan fisik dan psikis yang mencemaskan pada diri anaknya sejak tidak lagi diasuh oleh ibunya secara wajar.
Baca Juga: Penundaan Putusan Pengadilan, Menambah Luka LS yang Ingin Anaknya Mendapatkan Keadilan
Dalam keterangannya, LS mengungkapkan bahwa perjuangannya bukan hanya sebatas gugatan hukum, tetapi demi keselamatan dan masa depan sang anak yang masih di bawah umur. Ia membuktikan mantan suaminya telah mengaku memberikan obat keras kepada anaknya tanpa persetujuan dari dirinya sebagai ibu kandung pemegang hak asuh yang sah
“Kasus ini bermula dari tindakan sepihak mantan suami saya, yang membawa anak kami yang saat itu masih berusia 12,5 tahun—keluar dari pengasuhan saya tanpa dasar hukum yang sah. Padahal, berdasarkan Akta Kesepakatan Nomor 37 Tahun 2019, hak pengasuhan anak sepenuhnya berada di tangan ibu, tapi malah dilanggar ,” jelas LS.
Yang lebih memprihatinkan, menurut LS, anaknya sempat dibawa ke psikolog dan psikolog forensik lalu diberi obat antidepresan Cipralex dengan dosis tinggi— anak pasien tidak ikut, tanpa diagnosa berawal dari Cipralex 10 mg hingga meningkat menjadi 15 mg per hari selama 1,5 tahun—tanpa sepengetahuan atau izin dari dirinya. LS mengklaim, sejak saat itu, GI yang dikenal cerdas dan aktif, berubah drastis menjadi anak yang pendiam, mudah tersulut emosi, tampak tak terurus, dan mengalami penurunan dalam prestasi akademik maupun sosial.
Tidak hanya itu, LS juga mengatakan bahwa sejak Juli 2023, ia tidak lagi bisa berkomunikasi dengan anaknya. Bahkan saat anaknya sakit, ia tidak diizinkan menjenguk. Ia juga menduga ada penyekapan terselubung berupa permintaan agar ia menyerahkan dokumen warisan rumah dan memaksa menyuruh periksa ke psikolog forensik yang ditunjuknya sebagai syarat untuk bertemu anaknya—sebuah tindakan yang dinilai manipulatif dan melanggar hukum
“Semua tindakan mantan suami—dari mengambil anak secara sepihak, pemberian obat tanpa persetujuan, hingga memutus komunikasi—telah melanggar hak asasi anak dan perempuan. Ini jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan juga KUHPerdata mengenai hak asuh orang tua kandung,” tegas LS.
Ia pun berharap majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara agar segera memutus perkara ini secara adil dan objektif, demi kepastian hukum bagi dirinya dan perlindungan terhadap anaknya. Menurutnya, penundaan yang berlarut hanya memperpanjang derita seorang ibu dan membuat kondisi anak yang membutuhkan pengobatan dan pendampingan kasuh sayang seorang ibu baik secara hukum maupun psikologis yang menunjang tumbuh kembang anak di bawah umur dengan baik sampai masa dewasa
“Kami mohon kepada aparat penegak hukum untuk membuka mata hati secara perikemanusiaan terhadap penderitaan seorang anak gadis kecil di bawah umur dan risiko jangka panjang yang bisa menimpa masa depan anaknya. Keadilan yang ditunda adalah keadilan yang disangkal. Ini saatnya hukum membuktikan keberpihakannya pada hak-hak dasar warga negara,” pungkas LS.