Alumni Chevening Ingatkan Ancaman Politik Dinasti

Beritakota.id, Jakarta – Di tengah meningkatnya kekhawatiran publik atas dominasi politik dinasti yang kian mengakar di Indonesia, Chevening Alumni Association Indonesia (CAAI) menggelar Diskusi Akademik bertajuk “Can Meritocracy Survive in the Face of Political Dynasties?”

Acara ini berlangsung secara daring pada Minggu, 25 Agustus 2024, dan menghadirkan pakar serta praktisi dari berbagai disiplin ilmu untuk membahas dampak mendalam politik dinasti terhadap meritokrasi dan kualitas demokrasi di Indonesia. Diskusi ini juga didukung oleh Nalar Institute sebagai Knowledge Partner.

Diskusi ini menjadi semakin relevan di tengah kontroversi yang dipicu oleh langkah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam mengupayakan revisi Undang-Undang Pilkada. Langkah ini diambil setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 terkait syarat pencalonan kepala daerah. Meskipun upaya revisi tersebut ditunda sementara, langkah DPR ini dianggap sebagai bentuk pembangkangan nyata terhadap konstitusi, khususnya dalam upaya mengakomodasi kepentingan politik dinasti di Indonesia.

Dalam sambutannya, Bioantika, Ketua Knowledge Bank CAAI 2024-2024, menegaskan bahwa diskusi ini diadakan sebagai bentuk kontribusi CAAI terhadap diskursus yang berkembang di Indonesia. “CAAI melalui Departemen Kajian dan Akademik secara rutin menyelenggarakan diskusi untuk merespons berbagai isu penting di Indonesia.

Baca juga: Komik Dinasti Jokowi, Relawan Alap-Alap Jokowi Kirim Surat Terbuka

Diskusi yang kami adakan tidak hanya relevan, tetapi juga menghadirkan alumni-alumni Chevening yang telah berkarir di berbagai bidang,” ujar Bioantika. “Hari ini adalah academic discourse ke-5 yang kami adakan. Salah satu yang saya banggakan dari CAAI 2024-2024 adalah keberhasilan kami dalam mendiskusikan berbagai topik penting, mulai dari konflik di Gaza, peran media, hingga isu perubahan iklim,” tambahnya.

Claudia Rosari Dewi, Direktur Eksekutif Nalar Institute, dalam sambutannya menyatakan pentingnya diskusi ini untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam, baik dari sisi akademik maupun praktis, terkait isu politik dinasti. “Diskusi ini menjadi lebih komprehensif dengan kehadiran para pembicara ahli yang akan memperkaya perspektif kita,” ujar Claudia.

Nadhila Renaldi, Presiden CAAI 2023-2025, menyampaikan kekecewaan mendalam terhadap upaya DPR untuk merevisi UU Pilkada, yang dianggap melawan Putusan MK. Nadhila menegaskan bahwa tindakan DPR ini dapat menciptakan preseden buruk bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.

“CAAI sangat menyayangkan upaya revisi UU Pilkada oleh DPR, karena ini berpotensi merusak fondasi hukum dan demokrasi yang telah kita bangun. Putusan MK bersifat final dan mengikat, sehingga harus dipatuhi oleh semua pihak, termasuk DPR,” tegasnya.

Nadhila juga mengapresiasi sikap tegas dari masyarakat sipil dan kelompok-kelompok pro-demokrasi yang memprotes upaya DPR tersebut. Ia menegaskan bahwa partisipasi publik sangat penting dalam menjaga integritas demokrasi di Indonesia dan mencegah potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak-pihak yang ingin mempertahankan atau memperkuat dinasti politik.

“Suara masyarakat sipil dan aktivis pro-demokrasi sangat berharga dalam menolak revisi ini. Kita harus terus berjuang untuk memastikan bahwa sistem demokrasi kita berjalan dengan baik dan adil, tanpa ada campur tangan yang mengarah pada penguatan kekuasaan dinasti politik,” pungkas Nadhila.

Yoes C. Kenawas, seorang research fellow di Institute for Advanced Research Unika Atma Jaya, memulai pemaparannya dengan membedah perbedaan antara “politik dinasti” dan “dinasti politik”. Menurutnya, politik dinasti adalah upaya pengorganisasian kekuasaan untuk merebut, meneruskan, dan mengembangkan posisi kekuasaan di mana individu-individu yang terlibat memiliki hubungan keluarga, baik melalui pertalian darah maupun pernikahan. “Dinasti politik, sebaliknya, adalah organisasi politik berbasis keluarga yang bertujuan untuk merebut, mempertahankan, dan memperluas posisi kekuasaan dengan anggota-anggota intinya yang diikat oleh hubungan darah atau pernikahan,” jelas Yoes.

Yoes juga menyoroti peningkatan jumlah politisi dinasti di Indonesia. Menurut data yang ia paparkan, hanya terdapat 16 politisi dinasti yang sukses pada tahun 2010, namun jumlahnya meningkat menjadi 25 pada tahun 2017, 55 pada tahun 2018, dan mencapai 72 pada tahun 2020. “Pertumbuhan politik dinasti di Indonesia dari tahun 2010 hingga 2020 meningkat sangat pesat,” tambahnya.

Sofie Syarief, seorang jurnalis yang saat ini menempuh pendidikan doktoral di bidang Kajian Media di Goldsmiths, University of London, memaparkan bahwa media memiliki peran signifikan dalam mengekalkan praktik politik dinasti di Indonesia.

Ia mencontohkan bagaimana media memberikan perhatian besar kepada Joko Widodo pada periode awal pencalonannya sebagai presiden.

“Media harus mengakui bahwa mereka turut membesarkan seorang Joko Widodo hingga saat ini. Menjadikan seseorang sebagai media darling itu wajar, dan memberikan ruang kepada tokoh yang dicari masyarakat itu normal. Namun, saya ingin mengingatkan bahwa ketika seseorang telah memiliki kekuasaan, media harus berperan sebagai checks untuk kekuasaan tersebut,” ujar Sofie.

Sofie juga menekankan pentingnya peran media dalam melakukan proses check and balance terhadap kekuasaan, terutama di daerah-daerah, karena politik dinasti berkembang pesat di tingkat lokal. “Politik dinasti tidak hanya terlihat di Jakarta, tetapi juga berkembang pesat di daerah. Ini adalah masalah kita bersama. Media daerah saat ini hidup segan mati tak mau, dengan sumber daya yang sangat terbatas,” tambahnya.

Lebih jauh, Sofie mengkritisi prinsip “cover both sides” yang kerap dipegang oleh media dan wartawan, dengan menegaskan bahwa prinsip tersebut hanya berlaku dalam kondisi normal. “Tidak ada cover both sides yang diberlakukan dengan bobot yang sama dalam situasi seperti ini. Ini saatnya wartawan menunjukkan keberpihakan yang jelas,” tegasnya.

Nabiyla Risfa Izzati, dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), menjelaskan bagaimana penguasa sering menggunakan hukum untuk memberikan legitimasi terhadap tindakannya, atau yang ia sebut sebagai “autocratic legalism”. Ia mencontohkan bagaimana praktek ini terlihat dalam revisi UU KPK, Perppu Cipta Kerja, dan yang terbaru, upaya DPR untuk merevisi UU Pilkada demi mengakomodir kepentingan dinasti politik.

“Kondisi di mana eksekutif dan legislatif mempunyai tujuan yang sama yang mereka paksakan untuk kepentingan mereka, bukan untuk kepentingan rakyat, adalah bentuk nyata autocratic legalism yang sangat membahayakan,” tegas Nabiyla.

Egi Primayogha, Program Manager Indonesia Corruption Watch (ICW), memberikan analisis tajam tentang bagaimana dinasti politik memperparah korupsi di Indonesia. “Konsentrasi kekuasaan pada satu keluarga tidak hanya melemahkan pengawasan, tetapi juga membuka peluang lebih besar bagi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) untuk terus berkembang. Dinasti politik tidak hanya hasil dari KKN, tetapi juga alat utama untuk memperkuatnya,” paparnya.

Diskusi ini juga menyoroti pentingnya reformasi sistemik untuk mengatasi pengaruh buruk politik dinasti. Para pembicara sepakat bahwa diperlukan langkah-langkah konkret untuk memastikan bahwa meritokrasi dapat bertahan dalam iklim politik yang semakin dinasti. “Reformasi hukum yang tegas dan komitmen dari semua pihak sangat dibutuhkan untuk mencegah semakin mengakarnya politik dinasti di Indonesia,” tutup Nabiyla.

Penulis: Herman Effendi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *