Menaker Harus Tingkatkan Perlindungan Bagi Seluruh Pekerja Indonesia

Pekerja

Beritakota.id, Jakarta – Para Menteri Ketenagakerjaan dari Anggota Kelompok 20 Negara atau Government 20 alias G20 menggelar pertemuan bertajuk G20 Labour and Employment Minister’s Meeting (G20 LEMM) di Catania, Italia. Pertemuan ini berlangsung tanggal 22 Juni hingga 23 Juni 2021.

Kelompok 20 Negara (G20) adalah kelompok internasional yang terdiri dari Argentina, Australia, Brazil, Kanada, China, Uni Eropa, Prancis, Jerman, India, Indonesia, Italia, Jepang, Meksiko, Rusia, Arab Saudi, Afrika Selatan, Korea Selatan, Turki, Inggris, dan Amerika Serikat. Spanyol adalah tamu undangan tetap.

Seperti dilansir South China Morning Post, kelompok ini didirikan pada tahun 1999 untuk memperluas kewenangan G7, yakni kelompok negara-negara paling kuat di dunia, mandat utama G20 adalah untuk mencegah krisis keuangan internasional di masa depan.

Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (Sekjen Opsi), Timboel Siregar menyampaikan, pertemuan tersebut menjadwalkan pembicaraan mengenai 3 isu terkait program dan kebijakan Pemerintah.

Antara lain, penciptaan lapangan kerja yang lebih banyak, lebih baik (decent), dan kesetaraan upah bagi pekerja perempuan; sistem perlindungan jaminan sosial dengan dunia kerja yang terus berubah; serta digital platform dan kerja jarak jauh (remote) yang berpusat pada manusia.

“Saya menilai, pertemuan tersebut sangat baik untuk bisa mencari solusi dari seluruh persoalan di 3 isu tersebut,” ujar Timboel Siregar lewat keterangan tertulis, baru-baru ini.

Namun demikian, menurut Timboel Siregar, terkait dengan 3 isu tersebut, ada beberapa hal yang memang perlu dikritisi, sehingga Pemerintah cq Kementerian Ketenagakerjaan tidak hanya sekadar membicarakannya.

“Namun mampu mencarikan solusi dan mengeksekusinya. Sehingga ada perbaikan yang cukup signifikan tentang isu-isu tersebut,”ujarnya.

Untuk isu pertama, yaitu penciptaan lapangan kerja yang lebih banyak, lebih baik (decent), dan kesetaraan upah bagi pekerja perempuan.

Sesuai dengan janji Pemerintah kepada Rakyat Indonesia, kehadiran Undang-Undang No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dijanjikan akan membuka lapangan kerja. Sehingga mampu menutupi defisit angkatan kerja yang terjadi selama ini.

“Namun demikian, Pemerintah hingga saat ini belum memiliki strategi untuk meningkatkan pembukaan lapangan kerja, khususnya di masa pandemi ini,” lanjut Timboel.

Kalau pun Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat realisasi investasi sepanjang kuartal I-2021 sebesar Rp 219,7 triliun, yang tumbuh 4,3% year on year (yoy), namun realisasi investasi tersebut lebih besar di sektor tersier.

Investasi di sektor primer sebesar Rp 26,6 triliun, sekunder Rp 88,3 triliun, dan tersier Rp 104,8 triliun (atau setara 47,7% total realisasi investasi).

Sektor tersier yakni sektor penyedia layanan jasa, minim menyerap tenaga kerja dan kurang memiliki multiplier effect dibandingkan dengan sektor sekunder dan primer.

Selain membuka lapangan kerja secara kuantitas, Pemerintah juga memang harus mendorong lapangan kerja yang berkualitas atau layak (decent).

Hak mendapatkan pekerjaan yang layak merupakan amanat UUD 1945. Tentunya hak atas pekerjaan yang layak terkait dengan hak pekerja untuk dilindungi dalam bekerja. 

Seperti mendapatkan perlindungan K3 yakni Keselamatan dan Kesehatan Kerja, upah layak, jaminan sosial yakni Enam Program Jaminan Sosial yang ada saat ini, dan sebagainya.

“Hukum positif di Indonesia sebenarnya sudah menjamin pekerja mendapatkan pekerjaan yang layak. Namun dalam implementasinya hukum positif tersebut dilanggar tanpa pengawasan dan penegakkan hukum yang baik,” lanjut Timboel Siregar.

Lebih lanjut, Koordinator Advokasi BPJS Watch ini menyampaikan, saat ini, isu pekerjaan yang layak kerap kali menjadi masalah.

“Faktor pengawasan yang lemah membuat hak pekerja mendapatkan pekerjaan yang layak terabaikan. Demikian juga tingkat kecelakaan kerja terus meningkat dari tahun ke tahun,” ungkapnya.

Berdasarkan data BPJS Ketenagakerjaan, di Tahun 2017 jumlah kasus kecelakaan kerja sebanyak 123.040 kasus. Naik menjadi 173.415 kasus di tahun 2018.

Kemudian, naik lagi menjadi 182.835 di tahun 2019. Dan ditahun  2020 menjadi 221.740 kasus.

“Upaya pencegahan relatif rendah. Pengawasan terkait alat dan proses pencegahan kecelakaan kerja juga lemah. Sehingga jumlah kecelakaan kerja terus meningkat tiap tahun,” sebutnya.

Upah layak yang dimanisfestasikan dalam upah minimum pun masih banyak belum dirasakan pekerja. Walau pun diwajibkan dibayarkan pengusaha kepada pekerjanya.

“Ini terjadi karena lemahnya penegakkan hukum. Pelanggaran upah minimum banyak terjadi, yang hukumannya pidana penjara, pun kerap kali tidak diproses oleh Pengawas ketenagakerjaan. Sehingga menjadi perselisihan hak yang diproses melalui Undang-Undang No 2 Tahun 2004,” terang Timboel Siregar.

Berdasarkan data BPS, lanjutnya, pada Februari 2021, tingkat partisipasi Angkatan kerja (TPAK) perempuan masih 54,03 persen. Sementara pria sebesar 82,14 persen.

Dengan data ini, kata dia, seharusnya Pemerintah cq Kemnaker lebih fokus pada peningkatan TPAK Perempuan. Sehingga lebih banyak lagi perempuan yang bekerja.

Demikian juga dengan pekerja perempuan yang banyak diposisikan sebagai pekerja mitra. Seperti pekerja rumahan yang marak terjadi, dan pekerja perempuan yang bekerja di toko-toko atau sektor informal lainnya yang minim keterampilan, minim perlindungan upah, minim K3, minim jaminan sosial, dan sebagainya. 

Seharusnya Pemerintah sudah mampu mencarikan solusinya, karena hal ini sudah lama terjadi.

“Dengan fakta-fakta tersebut memang mendorong terjadi kesenjangan upah antara pekerja pria dan pekerja perempuan,” lanjutnya.

Berdasarkan hasil survei International Labour Organization (ILO) atau Organisasi Perburuhan Dunia di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pada bulan Juli 2020, pekerja perempuan Indonesia memperoleh pendapatan 23 persen lebih rendah dibandingkan laki-laki.

Sementara itu, secara global, perempuan mendapatkan upah lebih rendah dibandingkan laki-laki, dengan perkiraan kesenjangan upah sebesar 16 persen.

“Tentunya kesenjangan yang terjadi di Indonesia lebih tinggi dibandingkan data global. Oleh karenanya, pertemuan tersebut bisa digunakan oleh Ibu Menteri Ketenagakerjaan untuk belajar dari Negara-Negara lain yang lebih baik dari Indonesia. Dan sepulangnya dari Italia, diharapkan, Kemenaker menyusun road map penurunan tingkat kesenjangan upah pekerja perempuan dan pria,” pinta Timboel Siregar.

Tentang isu kedua, yaitu sistem perlindungan jaminan sosial dengan dunia kerja yang terus berubah. Timboel Siregar menilai, memang pelaksanaan jaminan sosial harus mampu memberikan perlindungan kepada seluruh pekerja Indonesia.

“Baik pekerja formal, informal, hingga pekerja migran kita yang bekerja di luar negeri,” lanjutnya.

Dunia kerja terus berubah, dan jaminan sosial sosial harus mampu melindungi seluruh pekerja dengan perubahan-perubahan dunia kerja tersebut.

Saat ini, sudah banyak hubungan kerja kemitraan yang dibangun, khususnya untuk pekerja yang bekerja dengan basis aplikasi seperti ojek online atau Ojol. Demikian juga perusahaan start-up yang semakin marak dalam dunia kerja di Indonesia.

“Seharusnya, pekerja-pekerja tersebut wajib dilindungi. Dan ini butuh regulasi yang pasti.  Selama ini Pemerintah hanya melindungi pekerja formal dengan regulasi-regulasinya,” tutur Timboel Siregar.

Dengan perubahan dunia kerja saat ini, kata dia lagi, maka sudah seharusnya Pemerintah membuat regulasi yang mewajibkan pekerja-pekerja tersebut dilindungi.

Sebenarnya, pada Pasal 7 dan 8 Peraturan Presiden Nomor 109 tahun 2013 mewajibkan pekerja bukan penerima upah (atau pekerja mandiri) terdaftar di Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKm) di BPJS Ketenagakerjaan. Namun dalam pelaksanaannya, kepesertaan pekerja mandiri masih bersifat sukarela.

Selaras dengan adanya kepastian perlindungan jaminan sosial kepada pekerja informal dan kemitraan, tentunya Pemerintah cq Kemnaker terus berusaha meningkatkan Kepesertaan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan dan Kesehatan, di sektor formal dan pekerja Migran Indonesia (PMI).

“Masih rendahnya kepesertaan jaminan sosial bagi pekerja formal dan PMI, tidak lepas dari lemahnya pengawasan dan penegakan hukum di Indonesia,” imbuhnya.

Isu ketiga, terkait digital platform dan kerja jarak jauh (remote) yang berpusat pada manusia. Memang ini akan menjadi tren ke depan. 

Oleh karenanya, Pemerintah pun harus mampu menyeimbangkan hal ini dengan perlindungan bagi pekerjanya. Baik dari sisi jaminan sosial, jam kerja, pendapatan, K3 dan lain sebagainya.

“Semoga pertemuan di Italia dapat memberikan perbaikan bagi dunia ketenagakerjaan kita. Untuk meningkatkan perlindungan semua pekerja, bukan digunakan sebagai sarana jalan-jalan,” tandas Timboel Siregar.

Dari seluruh uraian itu, lanjut Timboel Siregar, sebenarnya persoalan utama bagi Kementerian Ketenagakerjaan adalah masalah pengawasan dan penegakan hukum, untuk menjamin perlindungan bagi pekerja yang memang sudah ada hukum positifnya.

Dan bagi pekerja kemitraan dan informal, diharapkan Kementerian Ketenagakerjaan mampu membuat regulasi-regulasi yang akan melindungi pekerja-pekerja dengan hubungan kerja tersebut.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *