5 Langkah Ini Wajib Dilakukan Pemerintah Sebelum Terapkan Zero ODOL

Beritakota.id, Jakarta – Sebelum menerapkan kebijakan Zero ODOL (Over Dimension Over Load), pemerintah harus siap mengatasi dampak yang ditimbulkannya, termasuk harus mempersiapkan informasi resiko mengenai dampak tersebut.

Jika itu sudah dilakukan, bisa dipastikan pelaksanaan Zero ODOL ini akan bisa diimplementasikan tanpa adanya penolakan, baik dari industri maupun masyarakat yang terkena dampak.

Hal itu disampaikan Dosen Institut Transportasi & Logistik Trisakti dan Pakar Transportasi, Suripno, menanggapi banyaknya penolakan yang terjadi terhadap penerapan kebijakan Zero ODOL ini pada awal 2023 mendatang, baik dari indsutri maupun masyarakat.

Karenanya, menurutnya, yang berwenang memutuskan kebijakan Zero ODOL itu sesuai undang-undang adalah Presiden, bukan Menteri Perhubungan.

Dia mencontohkan mengenai keselamatan misalnya, yang menetapkan sasaran, berapa banyak kejadian kecelakaan yang harus ditekan, berapa banyak korban yang harus ditekan, itu yang memutuskan adalah Presiden.

“Jadi, masalah Zero ODOL ini bukan hanya terkait penegakan hukumnya saja, tapi juga dampaknya ke sektor lain dan masyarakat. Itu kan nanti Presiden juga yang akan menanggung dampaknya, makanya yang memutuskan juga harus Presiden, nggak bisa Menteri Perhubungan,” tegasnya.

Karena, kata Suripno, sesuai di pasal 6 UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, pemerintah harus menetapkan sasaran yang jelas, termasuk sasaran Zero ODOL. “Zero ODOL sasarannya apa, itu harus jelas,” katanya.

Dia menyampaikan ada 5 langkah yang harus dilakukan pemerintah sebelum menerapkan Zero ODOL ini. Pertama, pemerintah harus tahu dulu informasi dan konsekuensi sebelum memutuskan waktu penerapannya. Kedua, pemerintah harus mengupayakan insentif. Artinya, kalau pelanggaran itu mau ditekan maka pemerintah harus berusaha mengkondisikan supaya tidak terjadi pelanggaran.

“Dan itu bukan dengan melakukan penegakan hukum, tetapi dengan mempengaruhi perilaku seperti bagaimana memberi insentif kepada yang bekerja dengan efisien misalnya. Jika ada persyaratan kendaraan harus diperlebar, pemerintah butuh apa saja untuk menyiapkannya. Jadi, kebijakannya itu bukan kebijakan untuk menghukum, tapi mencegah orang jangan sampai melanggar. Itu yang harus dipikirkan pemerintah untuk mengatasi dampak tadi,” tukasnya.

Termasuk, menurut Suripno, pemerintah juga harus memikirkan cara bagaimana agar kebijakan Zero ODOL ini tidak berdampak kepada masyarakat dengan adanya kenaikan harga barang. “Jadi, kebijakan Zero ODOL ini jangan nanti kerugian yang ditimbulkannya lebih banyak dibanding manfaatnya,” tandasnya.

Hal ketiga adalah mengubah regulasi agar orang tidak melanggar. Misalkan untuk kelas jalan, itu harus dinaikkan kapasitas dukungnya agar kendaraan-kendaraan yang berdimensi besar bisa melalui jalan tersebut sehingga orang cenderung tidak melanggar. “Karena, meskipun kelas jalan setiap kendaraan sudah ditentukan, tapi kalau kelas jalan di ruas jalan itu tidak diubah maka tetap nggak boleh lewat di jalan. Itu berarti PP-nya harus direvisi. Harus dibedakan antara yang berlaku di kendaraan atau di ruas jalan,” katanya.
Keempat adalah sosialisasi. Untuk kepastian hukum, perlu dibuat rambu kelas jalan di semua jalan dan pemerintah harus mensosialisasikan kepada semua pemilik barang dan operator. “Tapi, rambu-rambu jalan itu juga tidak boleh langsung diberlakukan, harus disosialisasikan terlebih dulu, selama sebulan misalnya,” ujarnya.

Langkah kelima baru penegakan hukum. “Etikanya begitu. Jadi, tidak langsung jumping ke penegakan hukum seperti yang dilakukan sekarang. Sementara sasarannya belum jelas, insentif nggak jelas. Yang saya sampaikan tadi adalah paket kebijakan Zero ODOL jika ingin terlaksana dengan baik. Kalau sekarang kan bukan paket ya, dan Zero ODOL ini juga harusnya ditetapkan dengan Peraturan Presiden bukan Menteri Perhubungan,” ucapnya.

Karena kebijakan Zero ODOL ini terdampak kepada banyak sektor, menurut Suripno, Presiden juga harus menunjuk siapa yang ditugasi untuk mengkoordinasikan seluruh kegiatan.

“Kalau sekarang ini, Menteri Perhubungan minta kebijakan Zero ODOL diberlakukan pada 1 Januari 2023. Misalnya itu diterapkan dan membawa dampak pada perekonomian dan segala macam, Menteri Perhubungan bisa nggak bertanggung jawab atas hal ini? Kan nggak bisa. Nanti akhirnya Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan, Menteri Perindustrian pada kena kan,” tukasnya.

Jadi, kata Suripno, harus ada koordinatornya sehingga program kerjanya jelas. Misalnya, berapa lama kira-kira orang bisa menyesuaikan diri dan apa yang harus dilakukan pemerintah.

Jadi terstruktur dan jelas sasarannya apa yang mau dituju. Sasarannya bukan dalam bentuk berapa banyak yang dikenakan sanksi, itu bukan sasaran,” tandasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *